SHARE

Istimewa

CARAPANDANG - Hadia Kamel Kurdi, seorang ibu lima anak dari Kota Aleppo di Suriah utara, sangat terdampak oleh situasi mengerikan yang dihadapi keluarganya. Hampir setiap hari, mereka tidak punya apa-apa untuk dimakan, dan ketika mereka makan, kerap kali hanya buah zaitun, timi, atau kentang rebus.

"Semuanya menakutkan bagi kami. Situasinya hanya akan bertambah buruk," kata Kurdi. "Saat ini, kami hidup dari makanan yang dikirim oleh asosiasi panti asuhan setiap dua hari sekali."

Jumat (15/3) menandai 13 tahun pecahnya perang saudara di Suriah. Warga Suriah menghadapi kenyataan pahit yang hanya dapat diantisipasi oleh sedikit orang bertahun-tahun lalu. Sebuah laporan terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan bahwa 16,7 juta orang di Suriah diproyeksikan akan membutuhkan bantuan kemanusiaan tahun ini, jumlah tertinggi sejak 2011.

Menurut tinjauan kebutuhan kemanusiaan yang dirilis oleh Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) untuk Februari 2024, jumlah yang luar biasa banyak itu, yang mencapai sekitar 75 persen dari total populasi Suriah, disebabkan oleh konflik yang sedang berlangsung, pengungsian yang meluas, layanan dan infrastruktur yang tidak memadai, serta ekonomi yang kolaps.



Hadia Kamel Kurdi, seorang ibu dari lima anak, duduk bersama anak-anaknya di ruang tamu rumah mereka di Aleppo, Suriah, pada 24 Januari 2024. (Xinhua/Monsef Memari)

Mohammed Ibrahim Hindawi, seorang pria penyandang disabilitas di Aleppo, mengatakan bahwa hampir setiap hari dia tidak punya apa-apa untuk dimakan.

"Kami tidak punya apa-apa. Anda bisa datang ke rumah kami, tetapi Anda tidak akan menemukan apa-apa. Saya selalu cemas apakah saya bisa mendapatkan makanan untuk saya dan anak-anak saya," tuturnya. "Kemarin, kami tidak bisa menemukan apa pun untuk dimakan."

Krisis ekonomi ini memaksanya untuk menggunakan taktik bertahan hidup, yang membuatnya melarang anak-anaknya bersekolah dan justru bekerja untuk mencari nafkah bagi keluarga.

Harga-harga yang melonjak, yang dibarengi oleh depresiasi mata uang, membuat biaya hidup menjadi tidak terjangkau bagi banyak orang. Para pakar memperingatkan bahwa kejatuhan ekonomi ini tidak bersifat sementara, melainkan akan terus berlanjut, dan dampaknya diperkirakan akan terus terasa hingga bertahun-tahun ke depan.



Seorang pria menjual manisan dalam rangka menyambut Idul Fitri di sebuah pasar di Damaskus, Suriah, pada 26 April 2022. (Xinhua/Ammar Safarjalani)

Para pakar menyoroti bahwa dampak perang yang tak kunjung usai, yang diperparah oleh tekanan eksternal seperti sanksi ekonomi, berkontribusi secara signifikan terhadap bencana ekonomi Suriah.

Dalam sebuah wawancara baru-baru ini dengan Xinhua, Hayam Ali, seorang ekonom yang berbasis di Damaskus, menggarisbawahi konsekuensi destruktif dari sanksi-sanksi sepihak, yang sangat mengganggu ketahanan pangan dan mata pencaharian.

"Dampak dari sanksi Amerika Serikat (AS) telah memperburuk kemiskinan, meningkatkan permintaan, dan mengurangi produksi, yang mengakibatkan kesulitan nyata bagi warga Suriah, seperti penurunan ketahanan pangan yang berdampak pada sebagian besar orang," katanya.

Sanksi tersebut juga berdampak buruk pada generasi muda, dengan statistik terbaru yang menunjukkan bahwa anak-anak Suriah makin berisiko mengalami malanutrisi dan kekurangan gizi akibat sanksi tersebut, ucap Ali.

Ekonom itu menekankan perlunya tindakan-tindakan mendesak baik di dalam maupun luar negeri, seraya menyatakan bahwa meskipun bantuan eksternal tetap krusial, berbagai upaya bersama untuk meningkatkan sektor pertanian dan menerapkan kebijakan-kebijakan ekonomi tertarget juga sangat diperlukan, meskipun jalan menuju pemulihan sangat berat.

Tags
SHARE