"Jadi kita ingin supaya ini cepat terealisasi undang-undangnya cepat selesai, dan masih ada PR oleh karena itu kami akan sesegera mungkin mengundang platform digital yang besar, seperti YouTube, Netflix, dan TikTok, supaya kita menemukan satu kesepakatan, dan ini bisa dimasukkan juga ke dalam rancangan undang-undang penyiaran," kata Nurul.
Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Utama Kementerian Hukum Onnie Rosleini mengatakan bahwa Kementerian Hukum juga menekankan pentingnya kejelasan definisi dalam RUU Penyiaran.
Menurut dia, batas antara penyiaran dan platform digital perlu dijelaskan agar tidak terjadi tumpang tindih regulasi dengan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Sementara itu, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat I Made Sunarsa menjelaskan bahwa lembaganya selama ini hanya punya kewenangan mengatur lembaga penyiaran konvensional.
"KPI tidak punya kewenangan mengatur konten digital seperti YouTube. Jadi perlu kehati-hatian dalam menentukan batas pengawasan," ujar Made.
Pemerhati media Ignatius Haryanto menyampaikan keprihatinan berkenaan dengan beberapa pasal dalam rancangan undang-undang tentang penyiaran yang berpotensi mengancam jurnalisme investigatif.
Ia menegaskan bahwa produk jurnalistik yang berlandaskan kode etik dan verifikasi tidak boleh dikriminalisasi.
Pembaruan regulasi penyiaran diharapkan adaptif, demokratis, dan berpihak pada kepentingan publik.