SHARE

Istimewa

// Tidak pernah merdeka //

Berkaca pada sejarah, sejak Proklamasi RI, kemerdekaan pers sebenarnya tidak pernah terbebas dari ancaman. Rezim pemerintahan Presiden RI pertama Bung Karno dan Presiden RI kedua Pak Harto yang lebih setengah abad memerintah adalah  masa  paling suram  dalam kehidupan pers Nasional. Dua rezim itu memberangus surat kabar dan memenjarakan wartawan tanpa proses pengadilan. 

Ketika duduk sebagai  Ketua Pembelaan Wartawan di PWI Jaya dan di PWI Pusat saya membuat kategorisasi ancaman pers. Ancaman itu sebagai berikut.
1. Ancaman penguasa /pemerintah
2. Ancaman dari preman dan tukang pukul
3. Ancaman pemilik modal
4. Ancaman profesi. 

Pada masa Orde Lama dan Orde Baru ancaman didominasi oleh pemerintah.  Saya menjadi pengurus PWI di dua rezim : Orde Baru dan Masa Reformasi. 
Di masa Orde Baru sumber hukum pers adalah UU No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966. Namun UU itu dengan mudah dikooptasi penguasa lewat Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Penerangan.  Melalui dua perangkat peraturan itu pemerintah betul- betul berlaku seperti " Tuhan" menentukan nasib media pers dan wartawan di masa itu.

Sampai kemudian gerakan reformasi di berbagai bidang  terjadi tahun 1998. Yang mengakhiri pemerintahan Orde Baru, sekaligus penderitaan pers Indonesia. Lahirlah lahirlah UU Pers No 40 /1999 sebagai anak kandung  reformasi. Karena merupakan  perwujudan kehendak bangsa untuk mengawal kemerdekaan pers, insan pers pun seperti menemukan oase di tengah padang pasir. Saya mencatat ancaman terhadap pers mengalami pergeseran, tinggal berikut ini:
1. Ancaman dari preman dan tukang pukul
2. Ancaman pemilik modal
3. Ancaman profesi.

Diawal - awal reformasi aksi preman dan ormas bersimaharajalela  menggeruduk kantor media pers. 
Aksi pemerintah tiada lagi, entah melalui jalan " belakang".  Roh UU Pers 40/1999 memang menutup akses langsung bagi pemerintah untuk campur tangan mengatur kehidupan pers. Namun,  siapa menyangka bulan madu kemerdekaan pers Indonesia hanya berlangsung singkat. Secara formal Pemerintah memang tampak tidak campur tangan lagi secara langsung. Tetapi  melalui cabang kekuasaan yang lain, pemerintah dan parlemen terus memproduksi jerat hukum  yang mengancam kemerdekaan pers.  UU ITE, salah satunya.  Sekarang  menyusul  RUU KUHP yang sedang digodog di parlemen yang membuat Prof Azyumardi harus terjaga siang malam. 

Halaman :