SHARE

Catatan KPAI Tahun 2022, Pengeroyokan ABG dan Tawuran Pelajar Marak Terjadi Meski Masa Pandemi

Rekomendasi

(1) KPAI mendorong para orangtua melakukan pengawasan dan pengasuhan positif kepada anak-anaknya sehingga anak-anak tidak terlibat dalam tawuran pelajar. Apalagi mengingat tawuran kerap kali terjadi pada malam, bahkan dini hari, diantaranya pukul 03.00 wib, dimana seharusnya anak-anak berada di rumah bersama keluarganya. Kesalahan anak tidak berdiri sendiri, ada faktor lingkungannya, baik di rumah (keluarga) maupun di pergaulannya (sosial) sangat berpengaruh terhadap perilaku anak;

(2) KPAI dorong orangtua pantau media social anaknya secara berkala sebagai bentuk pencegahan. Pengeroyokan maupun tawuran, kerap kali diawali dengan saling bully di media sosial sehingga dapat menjadi pemicu. Seharusnya orangtua maupun orang dewasa lain di sekitar anak, harus ikut berteman dan memantau secara berkala aktivitas media social putra putrinya sehingga ortu dapat dapat mencegah atau mengantisipasi potensi terjadinya kekerasan fisik atau pengeroyokan. Tawuran juga kerap diawali dengan janjian di media social;

(3) KPAI mendorong satuan Pendidikan, baik sekolah di bawah kewenangan KemendikbudRistek maupun Madrasah dan pondok pesantren di bawah kewenangan Kementerian Agama untuk membangun system pencegahan di lingkungan sekolah, seperti menyediakan system pengaduan kekerasan yang melindungi korban dan saksi, termasuk pembentukan satgas anti kekerasan sebagaimana diamanatkan dalam Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan Pendidikan. KPAI juga mendorong Kementerian Agama RI memiliki peraturan Menteri yang sama untuk lingkungan madrasah dan pesantren.

(4) KPAI mendorong revisi Permendikbud No. 82/2015 terkait penanganan kekerasan dengan mendasarkan kepentingan terbaik bagi anak. Karena selama ini, peserta didik yang terlibat kekerasan, selalu diberikan sanksi di keluarkan dari sekolah atau tidak dinaikan/diluluskan. Dampak mengeluarkan siswa yang melakukan kekerasan bisa membuat peserta didik tersebut berhenti sekolah atau DO, bisa karena factor tidak ada biaya tapi bisa juga karena factor ditolak sekolah lain. Kalaupun diterima di sekolah lain, anak pelaku kekerasan belum tentu memiliki efek jera, bahkan kerap kali malah memindahkan kekerasannya di tempat lain. Pihak sekolah kerap kali tidak melihat akar masalah mengapa seorang anak melakukan kekerasan, disini peran guru Bimbingan Konseling (BK) dan walikelas menjadi sangat penting. 

(5) KPAI mendorong Dinas Pendidikan memiliki program pencegahan tawuran pelajar, tidak melulu membentuk satgas anti tawuran dan membuat deklarasi anti tawuran, karena faktanya tawuran terus terjadi. Mengeluarkan anak pelaku tawuran dari sekolahnya juga tak menyelesaikan masalah, karena begitu pindah, ternyata hanya memindahkan masalah yang tak diselesaikan.   Perlu dipikirkan cara-cara pencegahan yang lebih tepat dan berbasis ke akar masalahnya. Oleh karena itu, KPAI mendorong  pemerintah setempat harus tegas memberikan kebijakan afirmasi kepada anak-anak yang selama ini left behind (tertinggal. Terabaikan) dalam proses pendidikan, misalnya anak dari keluarga miskin, anak-anak difabel, korban kekerasan dan lainnya.

(6) KPAI mendorong Pihak kepolisian lebih meningkatkan pengawasan pencegahan tawuran di wilayah-wilayah yang selama ini menjadi tempat tawuran sejumlah pelajar, tentu saja polisi harus bersinergi dengan stake holder lain di masyarakat (misalnya RT/RW, Lurah Camat, Babinsa, Satpam dll), dan dinas terkait (Dinas Pendidikan, Satpol PP, dll).

Jakarta, 24 Juni 2022

Retno Listyarti (Komisioner KPAI)

Halaman :